Belajar dari Kasus PT AAS: Waspadai Investasi Ilegal Berkedok Bisnis
Kamis, 30-10-2025 - 23:36:10 WIB
 |
| ilustrasi. |
Kasus penipuan investasi yang melibatkan PT Assa Auto Service (AAS) di Pekanbaru menjadi peringatan penting bagi masyarakat. Perusahaan ini menawarkan program investasi kendaraan dengan iming-iming keuntungan yang besar.
Para investor dijanjikan bisa menggunakan mobil selama tiga tahun dan akan menerima kembali 75 persen dari dana yang diinvestasikan pada akhir masa kontrak. Namun, di balik janji itu ternyata tidak ada bisnis nyata. Mobil yang diberikan hanyalah mobil sewaan, sementara uang investor baru digunakan untuk menutup kewajiban pada investor lama, sebuah pola klasik yang dikenal sebagai skema Ponzi.
Dari sudut pandang hukum bisnis, kasus ini menunjukkan bagaimana badan hukum dapat disalahgunakan untuk menipu masyarakat. Sebagai perseroan terbatas, PT AAS seharusnya menjalankan kegiatan sesuai anggaran dasarnya dan memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jika ingin menghimpun dana publik. Namun, kegiatan investasi ini dilakukan tanpa izin resmi, sehingga melanggar prinsip legalitas usaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan aturan pengawasan OJK. Dengan kata lain, PT AAS menjalankan kegiatan usaha di luar kerangka hukum yang sah.
Direksi dan komisaris PT AAS juga tidak bisa lepas dari tanggung jawab hukum. Berdasarkan Pasal 97 dan 114 UU Perseroan Terbatas, pengurus yang lalai atau sengaja menimbulkan kerugian dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi. Dalam kasus PT AAS, direksi dan komisaris secara aktif menawarkan investasi kepada masyarakat dengan informasi yang menyesatkan. Hal ini menunjukkan adanya niat untuk melakukan penipuan, bukan sekadar kelalaian. Karena itu, mereka dapat dimintakan pertanggungjawaban tidak hanya secara perdata, tetapi juga pidana sesuai Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Kasus PT AAS juga menyoroti pentingnya kewaspadaan masyarakat terhadap investasi ilegal. Banyak orang tergiur oleh tawaran keuntungan besar tanpa meneliti legalitas perusahaan. Padahal, setiap investasi yang tidak terdaftar di OJK seharusnya menjadi tanda bahaya. Pemerintah dan lembaga pengawas perlu memperkuat edukasi dan pengawasan agar praktik seperti ini bisa dicegah sejak awal.
Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bahwa tidak semua perusahaan berbadan hukum menjalankan bisnis yang sah. Bentuk perseroan terkadang digunakan sebagai kedok untuk menipu masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat harus lebih berhati-hati dan memastikan setiap tawaran investasi memiliki izin resmi serta dasar hukum yang jelas. Penegakan hukum yang tegas juga dibutuhkan agar pelaku penipuan investasi tidak lagi menjadikan badan hukum sebagai tameng kejahatan.(*)
Penulis Thasa Indah Saputri
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Universitas Padjadjaran
Komentar Anda :